Argumen Program Keluarga Berencana (KB) Dalam Islam

Authors

January 8, 2017

Downloads

Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar nomor empat sedunia. Di sisi lain, negeri ini juga dikenal sebagai berpenduduk Muslim terbesar di dunia.Oleh karena itu, kehidupan agamis juga identik dengan Indonesia, baik di dalam pikiran, sikap, ataupun tindakan (praksis). Salah satu contoh nyata dalam praksis misalnya, saban tahun Jemaah haji Indonesia adalah yang terbesar jumlahnya secara internasional. Dalam hal diskursus, setiap ragam persoalan nasional sedikit banyak mengait, menghubung, secara langsung atau tidak langsung, dengan agama. Satu contoh kasus dalam hal ini adalah program KB (Keluarga Berencana). Dalam sejarahnya sejak dicanangkan pada 1970-an,kaum Muslim secara umum menentangnya, karena sekilas dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agamayang suci dan ilahiah. Ironisnya, arus penolakan berbasis agama itu selepas runtuhnya Orde Baru, seperti mendapatkan momentum, karena memperoleh tambahan amunisi besar berupa argumen “HAM”. Padahal, jika kita menilik ke sejumlah teks atau nash, baik di al-Qur’an maupun hadis, misalnya, ternyata tidaksedikit dalil yang mendukung, baik secara langsung atau tidak langsung, terhadap program KB, yang, celakanya, banyak luput dari pencermatan kaum Muslim pro-natalitas. Sedangkan dari aspek nalar kenegaraan,misalnya, hak asasi dalam soal reproduksi akan berhadapan dengan kepentingan dan kewajiban dalam hal penyediaan sarana dan pra-sarana untuk mensejahterakan seluruh rakyat yang menjadi tugas pemerintah (negara) untuk mewujudkannya. Dalam politik kependudukan suatu negara, diasumsikan bahwajika terjadi ketidakseimbangan antara beban dan kemampuan, maka secara perlahan tetapi pasti negara akan menuju pusaran permasalahan sosial yang kompleks, sehingga kesejahteraan bersama yang diharapkan akan sulit terwujud. Padahal, tujuan terbentuk dan terselenggaranya suatu negara, yang dalam unit terkecilnya adalah keluarga, tidak lain dan tak bukan adalah terwujudnya kesejahteraan manusia, atau dalam bahasa syariahnya ada kemaslahatan (al-mashlahah). Prinsip ini sejalan dengan kaidah bahwa “tasharruf al-imam manuthun bil-mashlahah”, kebijakan pemimpin untuk rakyatnya harus berdasar pada kemaslahatan. Tulisan ini berusaha memberi suatu “pencerahan wawasan”, bahwa dalam konteks nation-state seperti sekarang, penolakan terhadap program KB (baca: kontrol atas populasi) dengan dalih HAM, misalnya, adalah suatu sikap atau cara pandang yang kurang relevans dan lemah secara argumentatif, baik dari sisi doktrin maupun logika.